Senin, 24 Februari 2014

Field Triep dan Puncak Tema Membuka Cakrawala Belajar Sudahkah pendidikan kita berjalan dengan baik sesuai tujuan?atau barangkali masih berkutat di satu titik?Tak pernah beranjak sekadar bermain dengan beragam konsep dan idealism. Realitanya, pembelajaran pasif dan guru cenderung stagnan dalam model pembelajaran. Sebaiknya persoalan pendidikan bukan sepenuhnya berkutat di dalam kelas. Kelas diserahkan menjadi milik siswa sehingga benar-benar menjadi rumah kedua bagi siswa. Selama ini jujur saja, siswa belum merasa memiliki kelas sebagai rumah kedua. Persoalan muncul silih berganti, sehingga selalu permasalah itu bercokol pada pusaran guru dan siswa. Sebenarnya banyak pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan. Untuk mengatasi kebuntuan berpikir siswa, dan membuka pikiran seluas-luasnya siswa, satu langkah yang selama ini dilupakan kita, yaitu field triep atau puncak tema. Kita pahami bahwa kurikulum 2013 memiliki warna baru, dengan mengusung brandtema scientific dan pembelajaran tematik. Tematik diterapkan dipendidikan dasar khususnya SD. Meskipun baru beberapa sekolah yang menjadi pilot project kurikulum baru, namun hasilnya pada semester pertama tahun ajaran 2013/2014 belum maksimal. Masih terdapat celah dan kekurangan kita dalam melaksanakan misi kurikulum baru. Pembelajaran tematik memiliki muatan bahwa materi mata pelajaran berkiblat pada satu tema besar yang diusung untuk diajarakan ke siswa. Pada prosesnya, secara tematik guru dan siswa mempelajari materi secara tematik disesuaikan dengan hal-hal yang dekat dengan keseharian siswa. Salah satunya menggunakan metode karya wisata atau field trip mempunyai sinonim kata, antara lain widya wisata dan study tour. Cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau objek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari atau menyelidiki sesuatu yang relevan dengan pelajaran. Tujuan dari karya wisata antara lain adalah untuk memperluas wawasan atau inspirasi dalam belajar. Menurut Zain (2002:95) metode field trip adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan kunjungan ke temapt tertentu untuk meningkatkan keaktifitasan siswa. Kunjungan ini baik berupa perjalanan ke suatu tempat atau pun suatu eksperimen yang mampu meningkatkan daya kreativitas siswa. Dengan demikian, field trip memberi keleluasaan pembelajaran out dor bagi siswa. Pemberian space waktu atau kesempatan ini, menghargai pula kreatifitas dan berpikir siswa dalam tema tertentu. Puncak tema ini bisa dilakukan pada akhir semester oleh sekolah. Sekolah melalui kurikulum menyusun program semesteran dan tahunan. Maka, pada akhir semester field trip dianggap perlu pada kurikulum baru. Jika siswa masih gamang belajar di kelas, sekadar teori yang mereka terima maka cara luar biasa melalui field trip bisa dilakukan. Hanya saja persiapan awal harus dilakukan,karena ketika guru menyusun tematik, maka objek kunjungan dan dana operasional perlu disusun pula. Langkah awal field trip disusun oleh guru, termasuk rambu-rambu belajar ketika siswa berada di luar sekolah. Melalui field trip siswa diajak untuk menemukan sendiri (inquiry) dan meramu serta menemukan kebenaran ilmiah secara mandiri. Guru sekadar fasilitator pembelajaran yang setia mendampingi siswa. Persoalan dana bisa dibicarakan dengan komite sekolah. Jika ada kemauan dan kesepakatan, pasti pembelajaran tematik akan berhasil. Hanya saja kadang bagi sekolah yang minim dana, ada kegamangan dan keraguan untuk melaksanakan puncak tema atau field trip. Tema besar disepakati antarguru mapel, sehingga objek sasaran benar-benar tepat dengan rumusan awal pembelajaran. Proses itu dilakukan oleh guru, siswa menjadi warga belajar yang aktif mengikuti pembelajaran. Misalnya tema ekonomi, maka ajaklah siswa ke bank atau pasar atau pusat perekonomian yang dekat dan siswa kenal. Penentuan objek field trip dilakukan dan disepakati melalui musyawarah. Selama ini kita melupakan kegiatan semacam ini. Bahkan tidak harus keluar sekolah, jika di dalam sekolah bisa menfasilitasinya melalui acara. Untuk tema ekonomi, tidak harus ke bank atau pasar. Siswa bisa membuka pasar mini di sekolah. Menggunakan meja sebagai etalase dagangan mereka. Cobalah kita kembalikan pembelajaran kepada siswa dan lingkungan. Dari lingkungan rril dengan mengangkat tema up to date, siswa akan merasa senang dan termotivasi. Konsep ini sudah jamak dilakukan di sekolah-sekolah swasta favourite. Pasalnya mereka lebih siap dari sisi anggaran dan sarana. Untuk itu, ke depan pembelajaran berbasis field trip terus digalakkan. Seiring dengan pemberlakuan kurikulum baru. Dengan pola pembelajaran yang tidak class centre, maka membantu guru dalam mengaktualisasikan kemampuannya. Kemampuan dan kecakapan guru didukung sarana yang ada pada saat field trip. Jangan lupa isu-isu hangat dan dekat dengan siswa selalu diangkat ke tengah kelas. Siswa akan lebih merasa senang dan tertarik untuk membahasanya, dari pada sekadar menceritakan tekstual belakan. Apalagi jauh dari realitas empiric siswa dalam keseharian. Mengubah mindset guru untuk mengubah pembelajaran indoor ke model field trip tidak mudah. Masalahnya guru terbiasa dengan pola konvensional yang acap kali membuat siswa bosan. Jika dipertahankan dengan kondisi semacam ini, maka kehadiran kurikulum baru pun tidak akan mampu mengubah. Sekolah yang membidani lahirnya intelektual muda sekadar tempat “pembodohan”yang terstruktur. Maka, ubah pola pembelajaran in door dengan pola yang lebih adaptatif dan out door. Pembelajaran saat ini sarat dengan penanaman nilai. Maka kendali ada pada struktur kurikulum dan guru sebagai panglima depan untuk mengejawentahkannya. Kondisi di luar kelas lebih bisa membuat iklim pembelajaran menjadi leluasa bagi siswa. Maka field trip pada pembelajaran tematik sangat tepat. Namun keberhasilan model ini bergantung pada kebijakan sekolah, peran orangtua dan guru. Sebab, dana menjadi factor penting yang tidak bisa diabaikan.

Rabu, 25 September 2013

Kata Kasar penting?

Menyikapi Kata-Kata Kasar di Buku Teks Bicara penerapan kurikulum 2013 tidak pernah berakhir. Di samping sisi positif kesiapan pemberlakuan kurikulum, ada juga sisi negatif penerapannya. Kasus yang terakhir mencuat, yaitu ditemukannya kata-kata kasar di dalam buku ajar bahasa Indonesia. Buku ajar yang diterbitkan oleh Kemendikbud ini menuai kritik dan menjadi keprihatinan semua pihak. Ironisnya, disaat kita menghendaki pendidikan karakter menjadi menu baru dalam dunia pendidikan kita, justru ditemukan dalam buku teks kurikulum 2013. Terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, kata-kata kasar tersebut menjadi bukti bahwa kelemahan penerapan selalu saja ada. Penerbitan buku ajar menjadi kewenangan pemerintah, tapi untuk mengevaluasi dan mengedit tentu harus melibatkan pakar dan guru terkait. Selama ini buku terkesan ditulis sekadarnya saja. Guna memenuhi kebutuhan pasar, maka bisa saja buku ditulis oleh orang yang bukan ahlinya. Terdapatnya kata-kata kasar, yang kurang dipertimbangkan oleh pemerintah bisa saja terjadi karena tergesa-gesa sebagai dampak pemberlakuan kurikulum 2013. Kesan tergesa-gesa itulah yang menyebabkan kita kecolongan kata-kata kasar. Kata-kata kasar dan umpatan yang terdapat dalam buku bahasa Indonesia SMP kelas VII dalam sastra cerpen “Gerhana” menjadi bukti bahwa sejatinya kebiasaan mengumpat masih saja terjadi sampai detik ini. Bisa saja penulis berdalih, bahwa itu karya sastra. Multitafsir dan multiinterpretasi bisa saja dilakukan oleh pembaca Guru bisa menejelaskan bahwa kata-kata kasar itu tidak pantas kita tiru. Tapi berbeda ketika pemahaman membaca siswa digunakan untuk memahami cerpen tersebut. Siswa SMP tentu belum memiliki daya apresiasi dan kritik sastra yang maksimal. Keterbatasan daya baca siswa menjadi kendala pendidikan karakter melalui teks sastra. Bahasa siswa harus dipahami sebagai bahasa minimal yang mereka kuasai. Yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah buku teks tersebut ditulis dengan melibatkan guru bahasa Indonesia, atau sekadar para pakar dengan dalih keterbatasan waktu penerapan kurikulum 2013?Jika buku tersebut ditulis oleh pakar, tentu pakar juga harus mempertimbangkan keterpilihan jenis ragam sastra anak, seusia SMP. Masih banyak judul cerita sastra yang bisa dijadikan rujukan dalam buku teks. Dengan munculnya kritik terhadap buku teks yang berisi kata-kata kasar, berarti masyarakat masih memiliki budi pekerti untuk memfilter sekaligus mendukung pendidikan karakter. Kata-kata kasar menjadi konsumsi masyarakat kita saat ini, maka kehadiran buku teks tersebut bukan menjadi solusi keprihatinan kita, tapi justru menambah kegerahan kita. Karakter kasar dalam cerpen melalui tokoh, sebenarnya hal biasa jika kita memahaminya sebagai sebuah karya sastra. Karya sastra mengajarkan kebaikan, bukan saja dengan kebaikan semata. Melainkan bisa pula melalui karakter tokoh. Maka kita sebut saja ada karakter protagonis, antagonis dan tetragonis. Bayangkan jika dalam sebuah cerita tidak ada karakter-karakter tersebut.Tentu pembaca akan merasa bosan membacanya. Apa kita juga sering menjumpai karakter cerita yang lurus terus, tanpa ada pertentangan protagonis dan antagonis?Bukankah konflik itu muncul sebagai suguhan kepada pembaca untuk diapresiasi?Bisa saja kita mengambil referensi cerita sastra yang kosakatanya baik-baik saja. Tapi itu saja belum tentu mampu menanamkan kebaikan di endingnya. Maka, adanya kosa kata kasar dalam cerita jamak kita jumpai. Bukan semata untuk melukai anak didik kita. Bukan semata untuk mengejar proyek sebuah kurikulum(semoga). Kita harus airf menyikapi kata kasar, dengan kearifan local. Kita harus punya kearifan lokal yang kokoh, guna menangkal serangan sarkasme tadi. Kita pantas menyadari bahwa kata kasar dalam karya sastra itu jamak terjadi. Kita ingat pula etika bersastra bahwa ketika karya sastra telah diterbitkan dan lepas dari pengarangnya, maka sastra sudah menjadi milik masyarakat. Interpretasi dan apresiasi apapun terserah masyarakat. Maka kata kasar dalam cupikan cerpen “gerhana” bukan kesalanan penulis cerita. Karena cerita tersebut murni interpretasi gejala social yang direkam penulis. Faktor keterdesakan waktu penerapan kurikulum, jangan menjadi alasan jeleknya kualitas penyusunan buku ajar. Buku ajar menjadi buku pegangan guru dan siswa dalam kurikulum 2013. Buku ajar pasti memiliki sisi kelemahan diluar kuasa penulis.Maka kewajiban guru di kelas untuk mengembangkan dan menjelaskan lebih jelas dalam konteks etika dan moral. Sebaiknya kita tidak berhenti di polemic kata kasar dalam buku teks. Kita harus memberikan sumbangsih yang konkret. Misalnya penyusunan buku ajar harus melibatan guru di bidangnya. Guru yang paling tahu kondisi dan perkembangan anak didik. Maka meniadakan guru dalam penulisan buku ajar, sama saja membunuh intelektual. Saat ini banyak guru yang mampu menuli buku. Lebih baik pula, proses edit buku melibatkan pakar lain, misalnya MUI. Majelis ulama Indonesia bisa pula memberi fatwa terhadap konten buku. Selama ini kita digegerkan dengan konten buku baik yang bersinggungan dengan pornografi maupun kata kasar. Kapan pendidikan kita akan maju, jika selalu saja diskusi berkutat pada masalah buku?Masih banyak isu pendidikan yang sentral untuk didiskusikan. Sekarang banyak buku yang lolos sensor dank arena sekadar memenuhi pesanan pasar. Pemerintah harus tanggap dan lebih ketat mengatasinya. Buku picisan banyak beredar dipasar. Bukan saja film picisan yang marak beredar, tapi buku picisan telah mampu menyihir generasi kita. Jadi, saat ini kita tidak usah kagetan dengan munculnya kosa kata kasar di buku teks. Buku teks hanya salah satu sumber belajar, toh masih banyak sumber belajar lain yang lebih santun?Bagi penulis, kehati-hatian menjadi hal yang penting diperhatikan. Sebab, sasaran pembaca bukan saja siswa, melainkan juga orangtua dan masyarakat.

Mengapa PNS dimasalahkan?

PNS(jangan)Suami Istri Menanggapi ttulisan Sdr. Muhammad Sahlan dari Tuban yang berjudul”PNS jangan Suami Istri”pantas diapresiasi. Jika niat mulianya untuk kemaslahatan umat di Indonesia, saya sependapat. Tapi yang lebih esensi bahwa rezeki(materi) bukan dari PNS saja. Allah Swt memberikan rezeki kepada manusia tidak pernah salah. Maka, jika ada sepasang suami istri kebetulan sama-sama sebagai PNS, menurut saya tidak masalah. Intinya mereka bekerja untuk bangsa juga. Jika ada anggapan bahwa PNS itu difasilitasi Negara mutlak dari gaji, kesejahteraan dan fasilitas lain, itu salah dan keliru. PNS itu dibayar oleh uang rakyat. Negara sekadar memfasilitasi saja. Jadi jika memang ada kemauan dan kemampuan seseorang untuk menjadi PNS, why not? Hidup itu sawang –sinawang terhadap yang lainnya. Maka jika sepasang suami istri sudah PNS harus melepas salah satunya, ini juga merampas hak hidup layak bagi orang lain. Menjadi PNS itu pilihan, menjadi profesi apapun itu pilihan hidup seseorang. Semua bergantung pada rasa syukur masing-masing. Kita tidak boleh “ngilani”rejeki seseorang hanya dari seragam, atau profesi. Saya yakin, masih banyak yang ingin menjadi PNS, terlepas dari suami istri atau bukan. Maka bagi saya, siapapun boleh mencari penghidupan layak, sepanjang proporsional dan bersyukur. Memang sudah ada perusahaan atau sekolah swasta yang memberlakukan peraturan, jika suami istri satu yayasan, maka salah satunya harus keluar. Sekarang muncul pertanyaan, apa goal dari dikeluarkanya salah satu pasangan?Mengeluarkan mereka sama saja merampas rezeki dalam genggaman seseorang. Maka, bagi saya menjadi PNS itu sah-sah saja. Yang penting semangat kerja dan tidak melakukan korupsi. Jika memang ada pangadangan menjadi PNS itu enak, silahkan saja semua berlomba menjadi PNS. Karena profesi apa pun selagi baik, pasti akan diberi kemurahan rezeki.

Senin, 15 April 2013

Celathu

sapa kang dadi mitramu?Iku mesthi pawongan kang duwe watak andhap asor. Mula yen kowe bakal duwe gegayuhan urip kepenak, kudu bisa ngepenakake awak. Ora mung mikir kepenake awake dhewe wae, nanging mikira kepenake liyan. Saiki akeh kang padha golek kamukten dhewe. Ora predhuli sanadyan kadhangkala nglarani atine liyan. Wus, prakara sing congkrah kudu bisa dadi rukun amrih lestarine lair tata batine. Ayo saiki njaga awak, njaga ati njaga sakabehane.
< santri >

PUSI

Aja Lali Sasi pasa kang rekasa, Sambate kanca miwiti pasa Apa baya pasa marakake rekasa? Apa iya mung ngudarasa? Sakjane pitakonan kebak wangsulan Saka qur’an hadist lan liyane Pasa iku dudu ngudarasa, ning nyuda rasa Amrih bagya mulya wusanane Satengahingw engi mamring, Saur sinaur tumuju imsak wektune Aja lali, niyat mring pangeran! 2. Udan sepisanan Mendhung peteng dhedhet ing langit Angin kekiteran nrajang gegodhongan Keprungu swara gludhuk Grimis sepisanan, sawise ketiga Ketiga tan ana banyu Ketiga tan ana mangsa Kabeh salah mangsa Udan sepisanan sore iki gawe mareming ati Gawe pepadhang mring manungsa Salawase ngarep-arep tekan mangsa udan Kadang tani tansah gumregah anggon ngolah lemah Ditanduri pari lan palawija Ngareo tekane udan sepisanan, Banjur lemah teles, kebak banyuk mblasah

Jumat, 15 Maret 2013

Hujan oh Hujan

Hujan...banyak yang bilang jika hujan terus membosankan.Ada pula yang bersykur karena hujan. Mari jadikan hujan sebagai rahmat bukan musibah. Celakanya, banyak bencana yang akhir-akhir ini terjadi karena air hujan. Maka. ayo jaga supaya kita selamat. Persoalan hujan itu sudah ada yang mengatur. Nah, tugas kita memanajemen air supaya lebih bermanfaat. BAgi kita air merupakan pokok sebagai ppondasi kehidupan. Mari, jangan takut dengan hujan, jadilah sahabat hujan di manapun, dan akpan pun.